Chapter 4: I Am A Whore

Kudengar Gilang tertawa. “Masih aja dijaga itu paha. Memek lu aja udah dipake banyak orang.”
Pipiku memerah mendengarkan perkataan Gilang barusan. Iya sih vaginaku sudah dimasuki oleh banyak orang, tapi tetap saja aku risih bagian privasiku dilihat orang lain. Terlebih sekarang aku sedang berada di lingkungan pasar yang kumuh.
“Kita mau ke mana, sih?” tanyaku pada Gilang.
“Gak usah banyak nanya lo, bentar lagi juga sampe.”
Benar saja, tak lama Gilang memarkirkan motornya di depan sebuah ruko di sekitar pasar. Ruko itu terletak di tepian pasar yang tidak terlalu ramai. Hanya terlihat beberapa kendaraan yang terparkir di sana.
“Buruan turun!” seru Gilang karena aku diam saja.
“Gue gak pake daleman, kalo turun—“
“Alah, flashing dikit doang, belum juga dientot.” Gilang memotong ucapanku. “Buruan, atau gue paksa ampe orang lain liat.”
Takut akan ancaman Gilang, aku turun perlahan. Vaginaku sempat terekspos beberapa detik sebelum aku membenarkan posisi rokku. Gilang tertawa-tawa seraya turun dari motor dan merangkul pundakku.
“Bokap bakal seneng nih abis lu balik dari sini.” ujar Gilang seraya membawaku ke dalam ruko.
Dalam ruko yang kumasuki, terdapat beberapa kasur dengan meja di sampingnya. Dindingnya pun dihiasi oleh foto dan poster.
“Lu bakal punya tattoo.” Gilang berbisik di telingaku. “Asik gak tuh dapet tattoo gratis?”
Mataku terbelalak. Seumur-umur, aku paling takut dengan tattoo karena orang lain berkata bahwa proses penggambarannya yang sakit.
“T-Tapi gue takut.“
“Gue gak peduli. Ini perintah bokap, lu harus nurut.” Gilang menarikku ke suatu meja di pojok ruangan.
Aku berusaha melawan dengan menahan diri di tempatku berdiri. Aku menatap Gilang penuh permohonan sambil bergumam ‘jangan’ karena aku benar-benar tidak berani di-tattoo.
Plak!
“Ah!” seruku setelah Gilang tiba-tiba menampar pantatku.
“Lu lonte nurut aja apa kata gue!”
Gilang berseru di depan wajahku. Orang-orang yang ada di dalam ruko seketika menatapku rendah. Tak sedikit dari mereka yang bersiul dan menertawakanku. Malu, aku menunduk.
“Nurut lo makanya.” Gilang setengah berteriak padaku, sementara aku hanya terdiam.
Gilang kembali menarikku ke meja yang sepertinya berfungsi seperti resepsionis. Setelah Gilang selesai dengan urusannya, aku digiring ke lantai dua. Di sana, terdapat lima orang yang sepertinya menunggu kedatanganku dan Gilang. Seseorang dari mereka sudah terlihat duduk di sebuah kursi. Berbeda dengan ruangan di lantai bawah, kasur yang digunakan di ruangan ini adalah obgyn bed. Melihatnya saja membuatku bergidik ngeri.
Pipiku semakin memerah mendengar pernyataan Bang Doni. Apalagi setelah aku merasa bahwa empat orang lainnya memperhatikan tubuhku.
“Jadi gimana? Dah dapet gambar yang cocok?” tanya Gilang.
“Udah dong.” Bang Doni kemudian memperlihatkan sebuah kata dalam aksara Mandarin. “Nih kata cocok ama nih cewek.”
“Emang artinya apaan bang?” tanya Gilang.
Bang Doni berbisik pada Gilang, lalu keduanya tertawa.
“Nah, sekarang lu pada urusin nih cewek.” Bang Doni memerintah keempat orang yang ada di ruangan itu.
“Siap, Bos.”
“J-Jangan, lepas!” aku berusaha menepis cengkraman tangan orang-orang yang memegangi tangan dan kakiku. “Lepasin! Jangan paksa gue!”
Gilang hanya menyeringai melihatku dipegangi oleh anak buah Bang Doni. Sementara itu, aku terus meronta dalam genggaman mereka.
“Jangan iket gue! Lepas!” aku berteriak semakin kencang sambil menggerak-gerakkan tangan ketika sadar bahwa kakiku telah dilebarkan dan diikat ke penyangga paha.
Seolah tak cukup dengan mengikatku dengan tali, betisku diikat dengan plastic wrap berlapis-lapis. Tanganku disatukan di belakang bed, lalu perut dan tanganku juga dilapisi oleh plastic wrap yang dililit di kasur. Akhirnya, badan, tangan dan kakiku terasa kaku tanpa bisa digerakkan sama sekali.
“Nah, gitu kan enak.” Bang Doni mengambil pena, lalu berjalan mendekatiku. “Gue jadi gampang gambarnya.”
Lelah berteriak, aku mulai menangis sesenggukan. Aku merasakan guratan pena di paha bawahku. Sepertinya Bang Doni sedang membuat sketsa karena aku tidak merasakan sakit yang berarti.
Aku terus menggumamkan kata ‘jangan’ sambil menangis sesenggukan. Sementara itu, kulihat anak buah Bang Doni turun ke lantai bawah sehingga hanya tersisa aku, Gilang dan Bang Doni.
Tangisanku semakin menjadi mendengar suara mesin jarum tattoo yang mulai dinyalakan.
“Tahan aja kalau sakit, gak usah cengeng.”
Bang Doni kemudian mulai menusukkan jarum tattoo-nya ke kulit paha bagian bawahku. Aku kembali berteriak merasakan rasa sakit yang kurasakan. Aku tidak pernah suka dengan jarum dan sekarang aku harus merasakannya berkali-kali untuk hal yang tidak kuputuskan sendiri.
“Nih, biar gak sakit-sakit amat.” Gilang kemudian memasukkan sesuatu masuk ke vaginaku.
“Aaahhh…” tak sadar aku mendesah merasakan getaran di dalam vaginaku.
Ternyata Gilang memasukkan vibrator ke dalam vaginaku dan menyetel getarannya ke dalam mode maksimum. Vaginaku berkedut-kedut merasakan stimulasi dari vibrator itu. Aku ingin menggelinjang, tapi badanku tertahan oleh plastic wrap yang membungkus tubuhku.
Kurasakan Bang Doni kembali menusukkan jarum tattoo ke kulitku untuk menyelesaikan satu garis. Aku kembali berteriak, tapi bukan karena sakit yang menyiksa seperti sebelumnya. Entah kenapa vaginaku malah terasa semakin nikmat.
“Itu teriak enak apa sakit?” tanya Bang Doni sambil mencuri kesempatan untuk menyentuh vaginaku. “Baru dimasukin vibrator udah banjir.”
Bang Doni menyelesaikan gambarnya di pahaku tanpa halangan yang berarti. Mungkin teriakanku memang terdengar seperti teriakan kenikmatan.
Setelah selesai, Gilang mencabut vibratornya dari vaginaku. Tertawa, Gilang menunjukkan vibrator yang penuh lendir di depan wajahku.
“Keenakan lu? Hahahaha.”
Gilang dan Bang Doni tertawa dan semakin menatapku rendah. Sebenarnya aku sebentar lagi orgasme, tapi vibrator di vaginaku keburu dicabut.
Aku pikir Bang Doni hanya akan menggambar tattoo di paha kiriku saja, tapi ternyata Bang Doni juga membuat sketsa di paha kananku.
“Bang, sebelah aja, jangan dua-duanya, plis. Sakit…” aku memohon pada Bang Doni.
“Yang kanan doang artinya cewek, yang kiri doang artinya pelacur.” Bang Doni menghentikan penggambaran sketsanya. “Udah puas sama yang kiri doang?”
Aku terdiam, lalu tiba-tiba saja aku terhenyak. Sekarang, di tubuhku sudah tertulis kata ‘pelacur’ yang tidak mungkin aku hilangkan sepenuhnya walaupun suatu saat nanti aku berusaha menghapusnya. Terlebih lagi aku menikmati proses penggambarannya karena vibrator yang dipasang di vaginaku. Mau digambar atau tidak, huruf di paha kananku tidak akan mengubah apa-apa.
“Santai aja, pelan-pelan juga lo bakal ngerti kalo tujuan hidup lo cuma buat muasin cowok.” Gilang kembali memasukkan vibrator ke dalam vaginaku yang basah. “Nikmatin aja.”
Aku ingin menangis dan berteriak bahwa aku bukan pelacur, tapi tubuhku seakan mengkhianatiku. Perasaan geli-geli nikmat yang barusan sempat terhenti kini hadir lagi. Bang Doni masih menyelesaikan sketsanya, sementara aku sedang mati-matian menahan nikmat.
“Cewek mana yang mau-maunya ngentot cuma karena gak punya duit?” Gilang berbisik seraya memainkan klitorisku. “Kalo bukan pelacur, namanya apa?”
Aku memejamkan mata dan menggigit bibir kuat-kuat. Tidak, aku tidak boleh menyerah sekarang.
“Sekarang gue tanya, sadar gak lo siapa aja yang udah ngentot lo dari kemaren ampe sekarang?”
Aku mengangguk pelan.
“Tanya temen-temen lo, ada gak yang mau dientot sama dosen? Sama sopir? Sama abang ojek?”
Aku menggeleng. Kurasakan bibirku sakit karena kugigit keras-keras.
“Itu artinya, lo emang murahan!” gesekan jari Gilang di klitorisku semakin kencang. “Cewek yang murahan cocoknya jadi pelacur!”
Hatiku terasa panas, tapi aku tidak memungkiri bahwa sebagian kecil hatiku mengamini perkataan Gilang. Aku menggeram untuk menahan nikmat di vaginaku. Lalu, tiba-tiba baju di bagian dadaku dibuka dan sepasang tangan memainkan kedua putingku. Saat membuka mata,kulihat Bang Doni sedang asyik memainkan jari di kedua putingku yang mencuat.
“Ahhh!”
Aku akhirnya menyerah setelah Bang Doni mengemut puting susuku. Kepalaku menggeleng-geleng, berusaha menahan rasa nikmat yang kembali melanda. Vaginaku yang memang butuh dipuaskan terasa berkedut dan menjepit-jepit vibrator yang dipasang Gilang. Kalau tidak diikat, aku pasti sudah menaik-turunkan pinggulku dengan cepat.
“Rasain nih, pelacur!”
Kurasakan tangan Gilang mengobok-obok klitorisku. Tubuh bagian atasku bergetar. Mulutku tidak henti-hentinya mengeluarkan desahan. Urat leherku terasa kencang dan kepalaku bergerak-gerak semaunya.
“Ahh ah ah ampun Tuan…” aku semakin meracau tidak karuan. “Geliii ampuun…”
Seakan tak cukup dengan rangsangan di klitorisku, kurasakan Gilang memegang vibrator yang bersarang di dalam vaginaku dengan sebelah tangannya yang lain untuk kemudian digerakkan maju mundur. Tak ayal aku terbawa ke jurang orgasme.
“Ahhh! Gak kuaat-ahhh! Enaakkk…”
Rambutku dibasahi keringat, mataku berputar, mulutku membentuk huruf O. Harus kuakui bahwa ini adalah salah satu orgasme terhebat di hidupku.
Masih terengah-engah pasca orgasme, aku mendengar suara langkah kaki mendekat.
“Wah wah wah, pantes papa telpon gak diangkat. Ternyata lagi asyik di sini.”
Itu suara Pak Darmawan.
“Maaf Pa, gara-gara lonte kita gatel.” Gilang menyahut sambil tetap memajumundurkan tangannya di dalam vaginaku. “Liat nih memeknya banjir.”
“U-dahh…” aku memohon pada Gilang setelah vibrator yang ia pegang mengenai titik sensitifku berkali-kali. “Berhenti… Capek… Ahh…”
“Gimana nih Pa?” tanya Gilang pada Pak Darmawan.
“Bikin dia orgasme lagi. Papa mau liat.”
“Ahh jangan Tuan… Linu… Aaahhh…” aku yang kepayahan hanya bisa memohon-mohon frustrasi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tapi, karena terus-terusan dirangsang, vaginaku akhirnya kembali merasa kegelian. Aku mendesah-desah keenakan saat Gilang terus-terusan mengenai titik sensitifku dengan vibratornya dan Bang Doni memainkan kedua payudaraku dengan lihai. Terlebih saat aku melihat Pak Darmawan sedang memperhatikan kami sambil menyeringai senang.
“Aaahhh ah ah enak aahh lagiii aahhh…”
“Tadi katanya berhenti, hm?” goda Gilang.
“J-Jangan berhentii aahhh mau keluar nghhh…” aku menggerak-gerakkan kepala hingga rambutku kusut. “Dikit lagiiihh aahhhh iyaaa-hhh keluaarrrr…”
Aku kembali mengalami orgasme, namun kali ini aku mengalami squirt karena kontrol air seniku yang juga acak-acakan karena kebanyakan orgasme.
“Keenakan lu? Ampe squirt gitu.”
“Dia seneng kalau ada yang nonton.” Pak Darmawan tertawa, lalu mengalihkan pandangannya pada Bang Doni. “Udah, lanjut lagi tattoo-nya. Saya tunggu di bawah.”
“Memeknya dikasih vibrator lagi gak Pa?” tanya Gilang.
“Gak usah, biar dia kesakitan.”
“T-Tuan, gak usah ditattoo lagi Tuan…” aku memohon pada Pak Darmawan. “Sakit Tuan, jangan ditambah lagi…”
“Diem kamu, jadi lonte jangan mau enaknya aja.” Pak Darmawan menjawab tanpa melihatku. “Don, kalau bisa tambah satu di deket pusernya. Apapun buat nandain kalau dia lonte.”
“Tuan! Jangan Tuan!” aku berteriak pada Pak Darmawan.
Kudengar suara mesin dari alat jarum tattoo Bang Doni kembali dinyalakan seiring dengan langkah kaki Pak Darmawan yang semakin menjauh. Selanjutnya, hanya terdengar suara kesakitanku saat Bang Doni menambah tattoo di paha dan bawah pusarku.
Katanya, Bang Doni menambahkan kata ‘WHORE’ dengan pusarku sebagai huruf O.
Aku sekarang berada di mobil Pak Darmawan setelah membersihkan diri dan berganti baju menjadi rok mini super ketat dan sebuah crop top berwarna hitam. Sama seperti Gilang, Pak Darmawan tidak mengizinkanku menggunakan dalaman. Aku duduk di kursi belakang dengan Pak Darmawan, sementara di kursi depan hanya ada supirnya yang kemarin sempat menyetubuhiku.
“Kamu udah ngentot sama supir saya?” tanya Pak Darmawan sambil mengelus-elus pahaku.
“I-Iya, Tuan.” jawabku pelan.
“Legit banget memeknya Pak.” sahut supir Pak Darmawan sambil mengacungkan jempolnya ke udara.
“Terus pas dientot kamu manggil dia apa?” tanya Pak Darmawan lagi.
Pipiku memerah sampai ke telinga. “Manggil ‘Pak’.”
“Namanya? Gak tau siapa?”
Aku menggeleng.
“Terus, tukang ojek yang tadi pagi gimana? Tau namanya?”
Aku kembali menggeleng.
“Tapi kontolnya inget?” tanya Pak Darmawan seraya menggerakkan tangannya ke paha dalamku.
“I-Inget, Tuan.” jawabku pelan.
Pak Darmawan terkekeh. “Gak salah saya milih kamu. Temen kamu, si Nadia, dari kemaren ngegodain saya biar bisa lulus cepet. Tapi gak saya ladenin karena saya udah punya kamu.”
Ah, Nadia, si ayam kampus yang sudah menjadi rahasia umum di kampusku. Ternyata rumor bahwa Nadia sering menggoda dosen agar bisa mendapat nilai memuaskan benar adanya.
“Kenapa, Tuan?”
“Soalnya kamu punya bakat ngelonte, dia enggak. Kata dosen lain sih dia menang seksi doang, mainnya kurang.” kurasakan tangan Pak Darmawan menyelinap ke belahan vaginaku. “Nah, kamu kan beda. Digodain dikit udah basah.”
Pak Darmawan dan supirnya tertawa, sementara aku menunduk untuk menahan malu.
Tangan Pak Darmawan semakin bergerilya di tubuhku. Awalnya Pak Darmawan hanya mengelus-elus pahaku saja, tapi kemudian tubuhku kembali dikerjai. Rokku diangkat hingga pinggang, atasanku dinaikkan, posisiku dibuat setengah tertidur, rambutku yang tadinya terurai rapi kembali dibuat acak-acakan. Mengikuti permainan, aku mendesah-desah saat Pak Darmawan mengerjai tubuhku.
Saat sedang menikmati belaian tangan Pak Darmawan, tiba-tiba saja Pak Darmawan menyuruh supirnya memberhentikan mobil.
“Nah, berhenti dulu ya sayang.” Pak Darmawan merapikan kembali bajuku. “Kamu tolong beliin saya barang-barang yang ada di list ini di minimarket itu. Saya tunggu di mobil.”
Aku membaca daftar belanjaan Pak Darmawan. Tercatat barang-barang seperti kondom dan minuman energi.
“Ini buat siapa, Tuan?” tanyaku.
“Titipan temen saya.” Pak Darmawan membukakan pintu mobil di sebelahku. “Udah, tolong beliin sana. Ini duitnya.”
Setelah memberikanku beberapa lembar uang, aku masuk ke dalam minimarket di pinggir jalan yang dimaksud Pak Darmawan. Aku berkeliling untuk mencari barang-barang di daftar belanjaan itu, kemudian aku menghampiri kasir untuk membayar. Dalam keranjang belanjaanku, terdapat minuman energi, sosis siap saji, es krim, krim kocok, tisu basah, dan selotip. Sementara petugas kasir meng-scan barang belanjaanku, aku memilih-memilih kondom di rak yang ada di meja kasir.
“Mas, sama rokok mentholnya satu ya. Koreknya juga.” kataku sambil menaruh bungkusan kondom di samping belanjaanku yang lain.
“Banyak amat beli kondomnya neng, nyetok?” tanya petugas kasir tersebut sambil menahan tawa.
“Titipan temen.” jawabku malas.
Kondom dan rokok serta korek yang kubeli disatukan dalam satu plastik kecil, sementara sisanya disatukan di plastik yang agak besar. Kuserahkan tiga lembar uang lima puluh ribuan untuk membayar belanjaanku.
“Makasih ya neng.” petugas kasir tersebut menyerahkan struk dan kembalianku. “Lain kali kalau main ajak-ajak dong.”
Petugas kasir tersebut tertawa, sementara aku yang terlalu malas meladeni langsung buru-buru berjalan keluar dari minimarket. Saking terburu-buru, aku tersandung dan tak sengaja mempertontonkan selangkanganku yang tidak terbungkus apa-apa pada sang petugas kasir. Tawa petugas kasir tersebut semakin kencang, sementara aku hanya memperbaiki pakaianku seadanya sebelum membuka pintu minimarket. Sayup-sayup, kudengar petugas kasir tersebut berseru “Dasar lonte.”
Sesaat setelah sampai di pinggir jalan, aku terperangah saat tidak menemukan mobil Pak Darmawan di tempat barusan. Aku bertambah panik setelah sadar bahwa aku tidak membawa telepon genggamku. Kalau sudah begini, tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain menunggu Pak Darmawan di pinggir jalan.
Saat sedang menunggu Pak Darmawan, sebuah mobil sedan tiba-tiba menghampiriku. Sang pengemudi membuka jendela mobilnya, lalu menyuruhku mendekat.
“Lu baru ya di sini?” tanyanya.
Aku kebingungan. “Hah?”
“Lu baru mangkal di sini?” tanyanya sekali lagi.
“Saya nggak mangkal Pak. Lagi nunggu temen.” jawabku.
“Alah, gak usah jual mahal lo, lo pikir gue gak ngerti tulisan di paha lo?”
Seketika aku sadar bahwa tattoo di pahaku cukup besar hingga bisa terbaca dari jarak tiga meter.
“E-Eh, i-ini, enggak, saya—“
“Udah sebut aja, berapa semalem? Gue mau nyoba barang baru nih.”
“N-Nggak gitu, s-saya bukan disewa.” jawabku lagi. “Saya ada yang punya.”
“Yaudah gue tungguin ampe yang punya lu dateng. Ampe lu boong, gua seret lu masuk mobil.”
Aku yang mulai was-was semakin gelisah di tempatku. Untungnya, tak lama mobil Pak Darmawan mulai terlihat dan berhenti di belakang mobil sedan itu. Pak Darmawan kemudian menghampiriku.
“Ada apa, Tania?” tanya Pak Darmawan.
“I-Ini Pak—eh, Tuan, bapak ini mau nyewa saya.” jawabku dengan pipi memerah.
Pak Darmawan kemudian mendekati pemilik sedan itu. “Bener bapak mau nyewa ini lonte?”
“Tadinya iya Pak, tapi kalau bener ada yang punya sih ya udah saya cari yang lain aja.”
“Bapak kalau mau pake ga usah nyewa, nanti saya kirim dia ke tempat bapak. Tapi jangan malem ini Pak, mau saya pake dulu.”
Aku merasa seperti objek yang dengan mudahnya dipinjam-pinjamkan. Tapi anehnya, vaginaku malah berkedut-kedut membayangkan bahwa aku bisa dengan mudah ditiduri orang lain.
Kulihat Pak Darmawan dan pengemudi sedan tadi saling bertukar kartu nama, lalu aku dibawa kembali ke dalam mobil Pak Darmawan.
“Maaf ya sayang, barusan saya habis beli perkedel Bondon di deket stasiun.” ujar Pak Darmawan sambil mengelus-elus rambutku. “Perkedelnya ada, bondon*-nya enggak.”
(*bondon = pelacur, bahasa Sunda)
Aku hanya menjawab sekadarnya. “Iya, Tuan.”
“Gimana rasanya ditawar kaya tadi? Seneng?”
Aku terdiam dan menunduk. Aku memainkan jari-jariku karena tidak tahu harus berkata apa.
“Ya udah kalau nggak mau jawab. Buka lagi pahanya.”
Aku membuka pahaku dengan sebelah paha disampirkan pada kaki Pak Darmawan.
“Basah banget sayang, seneng ya?”
Aku memalingkan wajah ke samping, menutupi wajahku yang memerah.
“Gak apa-apa, wajar kok lonte seneng ada yang nawar. Rasanya punya harga walaupun cuma beberapa ratus ribu.”
Seharusnya aku sedih atau marah mendengar pernyataan Pak Darmawan, tapi aku malah diam, terlebih vaginaku malah tambah berkedut-kedut.
“Nah, mending kamu nyoba dulu perkedel yang tadi saya beli.”
Pak Darmawan mengeluarkan sebuah perkedel dari kantung plastik.
“Ini perkedelnya…” Pak Darmawan lalu mengoleskan perkedel yang masih panas tadi ke vaginaku yang basah. “Ini bondonnya. Nih.”
Pak Darmawan menyodorkan perkedel beroleskan cairan vaginaku sendiri di depan mulutku. Aku menggeleng-geleng sambil mengatupkan bibirku rapat-rapat.
“Ayo dong Tania, masa harus saya kasarin dulu?”
Aku masih mengatupkan mulutku dan berusaha meminta belas kasihan Pak Darmawan dengan menatap matanya. Usahaku tidak membuahkan hasil karena Pak Darmawan tiba-tiba menjambak rambutku dengan keras sehingga aku berteriak tertahan.
“Buka nggak itu mulut, mau saya kasih kamu ke bapak tadi malem ini juga?”
Takut dengan ancaman Pak Darmawan, aku sedikit-sedikit membuka mulut dan perkedel rasa cairan vaginaku langsung masuk ke dalam mulutku.
“Kunyah yang bener!” perintah Pak Darmawan.
Aku mengunyah perkedel itu pelan-pelan, mencoba melupakan fakta bahwa aku sedang memakan cairan vaginaku sendiri. Dengan susah payah, aku menelan perkedel itu lewat kerongkonganku.
“Gimana rasanya? Enak kan?”
Pak Darmawan tertawa melihat ekspresi tersiksaku. Lalu, Pak Darmawan dan supirnya bergantian mengoleskan perkedel ke vaginaku untuk mereka makan sendiri atau kembali disuapkan secara paksa padaku. Kalau vaginaku sudah kering, Pak Darmawan akan mengerjai tubuhku hingga cairan vaginaku kembali keluar. Itu semua mereka lakukan hingga kantung plastiknya kosong.
Terlalu fokus dikerjai, aku tidak sadar bahwa sekarang aku sudah berada di pelataran sebuah villa.
“Kamu istirahat dulu malem ini. Besok, kita pesta sampai larut.” ujar Pak Darmawan sebelum menyuruh supirnya menyeretku ke sebuah kamar di lantai atas.
Mengingat barang-barang yang tadi kubeli, aku jadi bergidik ngeri. Apa yang mungkin Pak Darmawan lakukan dengan berbotol-botol minuman energi dan selusin kondom?
BERSAMBUNG...







Tidak ada komentar:
Posting Komentar